Media sosial ramai memperbincangkan aksi razia yang dilakukan oleh ormas nasi Padang di sejumlah rumah makan di Cirebon dan kota lainnya. Tindakan ini dipicu oleh penggunaan label “nasi Padang” pada restoran yang dikelola oleh pihak non-Minang serta praktik harga murah yang dianggap merusak pasar. Polemik ini memicu diskusi tentang peran ormas dalam menjaga kuliner khas daerah, terutama soal lisensi dan standar cita rasa yang diklaim sebagai tanggung jawab ormas nasi Padang.
Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon (PRMPC) mendatangi beberapa rumah makan non-Minang dan meminta mereka untuk mencopot label “masakan Padang.” Mereka juga keberatan dengan harga jual murah yang, menurut mereka, menurunkan kualitas dan persepsi tentang brand nasi Padang. Berikut pembahasan lengkap mengenai kontroversi ormas nasi Padang ini, dari lisensi, mediasi, hingga tanggapan masyarakat.
Latar Belakang Razia Ormas Nasi Padang
Isu Lisensi dan Cita Rasa Masakan Padang
Ikatan Keluarga Minang (IKM) menyebut bahwa lisensi rumah makan Padang bertujuan menjaga cita rasa autentik Sumatra Barat. Ketua Harian DPP IKM, Andre Rosiade, menjelaskan bahwa lisensi ini diberikan untuk melestarikan rasa asli masakan Padang, bukan untuk melarang siapa pun berjualan. Ia menegaskan bahwa siapa pun berhak menjual nasi Padang tanpa biaya lisensi dari IKM.
Namun, aksi razia oleh ormas nasi Padang di Cirebon justru menimbulkan persepsi berbeda. Mereka mendatangi rumah makan non-Minang dan meminta agar tidak memakai label “masakan Padang” atau menjual makanan dengan harga yang dianggap terlalu murah. Di beberapa kota lain, termasuk Jakarta, pemasangan poster lisensi juga dilakukan ormas untuk memberi label “Asli Masakan Minang” pada rumah makan milik warga Minang.
Harga Murah yang Memicu Konflik
Salah satu pemicu utama razia ormas nasi Padang adalah adanya rumah makan yang menjual masakan Padang dengan harga sangat murah, mulai dari Rp8.000 hingga Rp10.000 per porsi. PRMPC menganggap strategi ini menurunkan nilai brand nasi Padang. Mereka meminta agar pemilik rumah makan di Cirebon menghapus label “masakan Padang” jika tetap ingin menjual dengan harga promosi rendah.
Menurut Penasihat PRMPC, Erlinus Tahar, mereka tidak melarang siapa pun untuk berjualan nasi Padang, baik orang Minang maupun non-Minang. Namun, ia menganggap penting menjaga harga yang wajar untuk mencegah kerugian di antara pedagang asli yang mengutamakan kualitas.
Tanggapan Publik atas Aksi Ormas Nasi Padang
Polemik Netizen: Antara Pelestarian Budaya dan Diskriminasi
Razia ormas nasi Padang terhadap rumah makan non-Minang ini memicu reaksi publik yang beragam. Banyak netizen yang menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk diskriminasi. Beberapa bahkan mempertanyakan kenapa pedagang tidak diperbolehkan menjual makanan khas ini dengan harga murah. Ungkapan seperti “Kenapa mempersulit orang cari rezeki?” dan “Harusnya jualan di Padang saja kalau begitu,” memenuhi kolom komentar di media sosial.
Banyak pula yang merasa bahwa langkah ini seolah memonopoli budaya kuliner. Masakan Padang telah lama menjadi bagian dari kuliner nasional, dan tindakan ormas nasi Padang dinilai mengekang perkembangan kuliner lokal.
Respons Andre Rosiade dan Klarifikasi dari IKM
Andre Rosiade sebagai perwakilan IKM berusaha menenangkan suasana dengan menjelaskan bahwa IKM tidak melarang siapa pun menjual nasi Padang. Dalam sebuah video, Andre mengajak publik untuk menghentikan polemik ini. Ia menegaskan bahwa lisensi IKM diberikan gratis sebagai upaya menjaga cita rasa, bukan untuk membatasi hak berjualan.
Mediasi dan Kesepakatan Akhir Ormas Nasi Padang dengan Pemilik Rumah Makan
Pencopotan Label dan Standardisasi Harga
Kedua pihak akhirnya setuju untuk melakukan mediasi yang difasilitasi kepolisian. Dalam pertemuan ini, Kapolresta Cirebon Kombes Pol Sumarni mengungkapkan bahwa mereka menyetujui pencopotan label “masakan Padang” pada rumah makan yang menjual makanan dengan harga murah. Kesepakatan ini diambil agar tidak ada salah paham terkait harga nasi Padang di masyarakat.
Menurut keterangan AKP Muchamad Soleh, pencopotan label dilakukan demi menjaga nilai brand nasi Padang. Kesepakatan ini diharapkan membantu menjaga iklim bisnis yang sehat, tanpa merugikan usaha lainnya.
Dampak Mediasi pada Bisnis Kuliner Padang
Kesepakatan ini menghasilkan dampak yang beragam bagi para pedagang. Di satu sisi, penetapan harga standar membantu menjaga citra nasi Padang. Namun, pembatasan harga promosi juga dianggap berisiko menghambat daya saing usaha kecil yang mengandalkan inovasi harga. Ormas nasi Padang berharap bahwa mediasi ini menjadi solusi yang baik agar ke depannya tak ada konflik baru.
Polemik ormas nasi Padang membuka diskusi panjang soal hak berjualan dan pelestarian budaya kuliner. Sebagai masakan yang telah menjadi milik masyarakat luas, banyak yang merasa bahwa tindakan ormas membatasi perkembangan bisnis kuliner Padang di luar masyarakat Minang. Ke depan, ormas diharapkan mampu berperan sebagai penjaga budaya tanpa membatasi kreativitas dan hak usaha orang lain.
Kasus ini mengingatkan pentingnya kolaborasi antara masyarakat, pengusaha, dan pemerintah untuk menjaga keberlanjutan budaya tanpa menghalangi inovasi.